Header Ads

Peredaran Vaksin Palsu dan Ketidakberdayaan Masyarakat dalam Memilih

Jakarta, WI24- Pemerintah dinilai telah membuat masyarakat resah dengan adanya peredaran vaksin palsu untuk anak-anak. Keresahan masyarakat dipicu akibat tidak ketatnya pengawasan pengadaan vaksin tersebut oleh pemerintah.

"Sebaiknya pemerintah jangan malah bilang 'jangan membuat masyarakat resah'. Yang buat resah kan dia juga. Ini menyangkut keselamatan jiwa. Ini sudah jelas berbahaya," ujar Ketua Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan Indonesia (YPKKI) Marius Widjajarta, Selasa (28/6/2016).

Selain itu, keresahan masyarakat juga muncul akibat ketidakberdayaan mereka dalam memilih vaksinasi.
Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi mengatakan, masyarakat hanya menerima vaksinasi yang diberikan oleh fasilitas layanan kesehatan (fasyankes) melalui tenaga kesehatan.

"Vaksinasi harus via tenaga kesehatan kan? Penggunaan vaksin tidak bisa langsung oleh masyarakat, tetapi melalui institusi dan tenaga kesehatan," kata Tulus.

Pemerintah tidak bisa mengimbau masyarakat memiliki tanggung jawab untuk berhati-hati terhadap peredaran vaksin palsu. Sebab, mereka hanyalah pihak penerima dari fasyankes.

Menurut Tulus, ini sepenuhnya merupakan tanggung jawab pemerintah. Tulus menyatakan lamanya praktik pemalsuan vaksin sebagai wujud Kementerian Kesehatan dan Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) yang tidak menjalankan fungsinya sesuai kapasitas.

"Tidak cukup hanya pelakunya yang diberikan sanksi pidana. Namun, pemerintah sebagai regulator juga harus bertanggung jawab dan dikenai sanksi," ucap Tulus.
Tak hanya pemerintah, lanjut Tulus, institusi kesehatan yang telah memberikan vaksin palsu pun harus dimintai pertanggungjawaban. Sulit dibedakan Marius mengatakan, obat dan vaksin palsu sulit dibedakan dengan yang asli. Pernyataan Kemenkes yang mengimbau masyarakat untuk teliti dinilai sebagai pernyataan yang keliru.
"Kalau dikatakan public warning yang kementerian kesehatan katakan harus teliti konsumennya, harus melihat asli atau palsu. Saya yang sudah berkecimpung (di dunia kesehatan) saja kesulitan berat. Enggak semudah itu," papar Marius.
Sulit dibedakan
Sejauh ini, vaksin palsu yang dapat dibedakan dengan kasat mata hanya vaksin produk Biofarma. Marius menyebut, tutup karet produk Biofarma berwarna khas abu-abu.

"Tutup karetnya warnanya abu-abu. Di luar itu warnanya, palsu. Dia khas warnanya," tutur Marius.

Sementara untuk vaksin-vaksin lainnya sulit dibedakan antara yang asli dan palsu jika tidak ada vaksin pembanding yang asli untuk mengeceknya. Direktur Pengawasan Produksi Produk Terapetik BPOM Togi Junice Hutadjulu pun menyatakan hal serupa.

Secara kasat mata, vaksin palsu dan asli sulit dibedakan. Yang bisa memastikan adalah uji laboratorium.
Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus Bareskrim Polri Brigadir Jenderal Agung Setya menyebut, untuk vaksin palsu, tutup karetnya berwarna lebih cerah dari yang asli. Vaksin palsu juga dikemas lebih rapi.
Sementara itu, cairan vaksin asli lebih pekat dari yang palsu.

Peredaran ke seluruh Indonesia

Penyidik menyatakan bahwa sindikat pemalsu vaksin telah memproduksi vaksin palsu sejak 2003 dengan distribusi di seluruh Indonesia. Wilayah penyebaran vaksin palsu ini tak hanya di Jakarta, tetapi juga Jawa Barat, Semarang, dan Medan.

Agung mengatakan, sudah ditemukan empat rumah sakit dan dua apotek yang diduga berlangganan vaksin palsu yang diproduksi tersangka pasangan suami-istri Hidayat Taufiqurahman dan Rita Agustina. Semuanya berada di Jakarta.

Pelaksana Tugas BPOM Bahdar Johan mengatakan, pihaknya menemukan 28 fasilitas layanan kesehatan (fasyankes) yang menggunakan vaksin dari sumber yang tidak resmi. Fasyankes tersebut terdapat di sembilan wilayah di Indonesia, yakni Pekanbaru, Serang, Bandung, Yogyakarta, Denpasar, Mataram, Palu, Surabaya, dan Batam.

Bahdar menyebut vaksin yang diperoleh dari sumber tidak resmi belum dapat dipastikan keasliannya. Penggunaan vaksin tersebut pun dihentikan sementara dan akan dilakukan uji sampel untuk memastikan vaksin yang digunakan asli atau palsu.

Sejauh ini, BPOM menemukan 12 jenis vaksin yang dipalsukan. Pelaku memalsukan vaksin yang diproduksi oleh PT. Biofarma, PT. Sanofi Grup, PT Glaxo Smith Kline (GSK). Jaminan Kementerian Kesehatan menjamin keaslian vaksin yang ada di Posyandu, Puskesmas, dan Rumah Sakit Pemerintah. Sebab, fasyankes tersebut mendapat vaksin untuk program imunisasi dasar dari produsen dan distributor resmi.
"Kita jamin asli karena ini vaksin program yang kita beli subsidi pemerintah," kata Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Kementerian Kesehatan HM Subuh.

Subuh mengungkapkan, sekitar 89 persen imunisasi dasar dilakukan di puskesmas, posyandu, hingga pos-pos yang didirikan pemerintah. Sisanya, sekitar 11 persen dilaksanakan di rumah sakit, klinik, atau fasyankes swasta lainnya.

Sejumlah fasyankes swasta pun mengambil vaksin dari produsen dan distributor resmi yang juga digunakan pemerintah. Sementara itu, Kepala Dinas Kesehatan DKI Jakarta Koesmedi Priharto pun menjamin rumah sakit umum daerah (RSUD) bebas dari vaksin palsu. Sebab, ia menyebut Dinkes sudah melakukan pemeriksaan yang ketat terhadap setiap vaksin yang masuk.

Di Jakarta terdapat lima RSUD, meliputi RSUD Koja, Jakarta Utara; RSUD Cengkareng, Jakarta Barat; RSUD Tarakan, Jakarta Pusat; serta RSUD Duren Sawit dan RSUD Pasar Rebo, Jakarta Timur. Meski menjamin RSUD bebas vaksin palsu, Koesmedi belum bisa memastikan hal serupa di puskesmas-puskesmas yang ada di tingkat kecamatan.(kompas)

No comments

Powered by Blogger.